Beranda Aplikasi Tren Aura Farming Viral di TikTok, Budaya Lokal Pacu Jalur Jadi Sorotan Dunia
Aplikasi

Tren Aura Farming Viral di TikTok, Budaya Lokal Pacu Jalur Jadi Sorotan Dunia

PelitadigitalMedia sosial kembali membuktikan kemampuannya dalam menjembatani budaya lokal dan perhatian global. Kali ini, melalui platform berbasis video pendek TikTok, muncul sebuah tren baru bernama aura farming. Tren ini tak hanya menjadi fenomena viral di kalangan pengguna muda, tetapi juga menyoroti kekayaan tradisi Indonesia yang selama ini kurang mendapat perhatian di panggung internasional.

Baca juga: TikTok Live Fan Club, Fitur Baru untuk Mendorong Interaksi dan Monetisasi Kreator

Fenomena Aura Farming: Lebih dari Sekadar Gaya Hidup Digital

Istilah “aura farming” merujuk pada praktik menumbuhkan citra diri yang penuh karisma dan kepercayaan diri, sebagaimana dipahami secara kasual di kalangan pengguna Gen Z dan Gen Alpha. Dalam konteks TikTok, aura farming menjadi bentuk ekspresi digital untuk menunjukkan sisi paling ‘keren’ dari diri seseorang.

Dengan caption seperti “Aura Farming 100/10”, para kreator konten berlomba menampilkan gerakan khas, gaya berpakaian, ekspresi wajah, atau bahkan suasana sekitar yang dinilai mampu memancarkan aura personal secara maksimal.

Viralnya Gerakan Pacu Jalur, Titik Balik Tren Global

Menariknya, fenomena ini bermula dari video sederhana yang menampilkan anak-anak pendayung Pacu Jalur, sebuah tradisi balapan perahu asal Kuantan Singingi, Riau. Dalam video tersebut, mereka menunjukkan gerakan tangan yang ritmis dan penuh percaya diri di atas perahu yang melaju deras.

Tanpa disangka, gerakan itu dianggap netizen sebagai contoh nyata dari aura farming—memancarkan kharisma dan keunikan yang otentik. Video tersebut menjadi viral, ditambah musik latar seperti “Young Black & Rich” yang memperkuat kesan ikonik, dan memantik tren global yang hingga kini terus berkembang.

Apa Itu Tradisi Pacu Jalur?

Pacu Jalur adalah warisan budaya yang telah berusia ratusan tahun dan menjadi bagian penting dalam identitas masyarakat Riau. Tradisi ini merupakan lomba mendayung perahu panjang yang disebut “jalur”, terbuat dari batang kayu besar dan dapat menampung puluhan orang dalam satu kapal.

Biasanya digelar setiap bulan Agustus di Sungai Batang Kuantan, festival ini menjadi pesta rakyat yang dinantikan, baik oleh warga lokal maupun wisatawan domestik. Setiap tim pendayung tidak hanya berkompetisi dalam kecepatan, tetapi juga dalam kekompakan dan estetika gerakan.

Kini, lewat platform TikTok, Pacu Jalur tak hanya dinikmati secara lokal, tapi juga diapresiasi oleh komunitas global.

Simbol Budaya yang Terselip dalam Tren Digital

Tren aura farming yang bersumber dari gerakan tradisional Pacu Jalur menyiratkan bahwa media sosial dapat menjadi alat diplomasi budaya yang kuat. Gerakan yang dulunya hanya dikenal di Riau kini menjadi referensi visual bagi jutaan pengguna TikTok dari berbagai negara.

Ini membuktikan bahwa nilai estetika dan semangat kolektif dalam tradisi Indonesia mampu bersaing dalam arus budaya populer global. Bahkan, banyak kreator luar negeri yang mulai membuat konten parodi atau reinterpretasi dari gerakan bocah pacu jalur tersebut.

Budaya Populer yang Berakar Lokal

TikTok, sebagai medium kreatif yang lintas batas, menunjukkan bahwa tidak semua tren besar harus lahir dari pusat-pusat budaya global. Sebaliknya, narasi lokal seperti Pacu Jalur dapat menjadi sumber inspirasi yang relevan, menarik, dan universal ketika dipresentasikan dengan cara yang otentik dan emosional.

Tren ini juga membuka mata banyak pihak bahwa budaya Indonesia menyimpan potensi besar untuk dikembangkan dan dipromosikan secara lebih strategis di platform digital.

Respons Generasi Muda, Antara Gimmick dan Kesadaran Budaya

Walau tren ini tampak seperti sekadar hiburan, namun bagi sebagian kalangan muda, ini merupakan kesempatan untuk menghidupkan kembali kecintaan terhadap tradisi. Banyak pengguna TikTok yang dengan bangga menyebutkan asal mula tren aura farming berasal dari Indonesia, sebuah bentuk klaim budaya yang cukup jarang terjadi di media sosial global.

Generasi muda yang sebelumnya mungkin kurang akrab dengan Pacu Jalur, kini mulai mencari tahu sejarah, filosofi, hingga makna simbolik dari olahraga tradisional tersebut.

Potensi Dampak Positif untuk Pariwisata dan Warisan Budaya

Popularitas tren aura farming membawa potensi dampak riil dalam bidang pariwisata dan pelestarian budaya. Festival Pacu Jalur yang biasa digelar setiap tahun di Teluk Kuantan, Riau, berpeluang menyedot perhatian lebih besar dari wisatawan domestik maupun mancanegara berkat paparan viral ini.

Jika dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah dan pelaku industri kreatif, tren ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengenalkan budaya Indonesia lebih luas lagi, bahkan menjadi bagian dari kampanye wisata berkelanjutan.

Etika dalam Tren Sosial Jangan Lupakan Asal Usulnya

Meskipun viralitas membawa peluang, perlu diingat bahwa konten yang menampilkan tradisi lokal seharusnya tidak diperlakukan semata-mata sebagai bahan hiburan. Penting bagi kreator untuk menyertakan konteks budaya, menghormati nilai-nilai asli, dan menghindari tindakan yang bisa mereduksi makna dari sebuah warisan tradisional.

Tren aura farming di TikTok menjadi bukti bahwa kekuatan budaya lokal bisa menjadi inspirasi bagi dunia digital global. Dengan gerakan sederhana dari bocah Pacu Jalur, tradisi yang telah ratusan tahun berkembang di Riau kini mendapatkan apresiasi lintas negara. Hal ini menunjukkan bahwa di era informasi saat ini, siapa pun dan apa pun, selama memiliki keaslian dan nilai budaya, berpotensi menjadi viral dan bermakna.

Namun, viralitas seharusnya tidak melupakan akarnya. Tradisi yang menjadi dasar dari tren ini harus tetap dijaga, dihargai, dan dilestarikan. Karena budaya adalah identitas, dan identitas adalah kekuatan.

Sebelumnya

Fairphone 6 Resmi Dirilis, HP Modular Ramah Lingkungan dengan Teknologi Tangguh

Selanjutnya

Doogee P70 Resmi Tampil di MWC 2025, Andalkan RAM 16 GB dan Layar AMOLED 120Hz

Pelita Digital