4 Primata Asal Indonesia Masuk Daftar Paling Terancam di Dunia

Pelitadigital.com – Krisis biodiversitas global kian nyata ketika empat spesies primata asal Indonesia dinyatakan sebagai yang paling terancam punah di dunia. Temuan ini tercantum dalam laporan Primates in Peril 2023–2025, yang menyoroti urgensi konservasi primata secara global.
Alih-alih hanya menjadi catatan ilmiah, keberadaan keempat primata Indonesia ini mencerminkan wajah krisis ekologi tropis yang lebih luas—yakni hilangnya habitat alami akibat pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam. Lebih dari sekadar statistik, nasib mereka menjadi cermin dari kegagalan kolektif dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan.
Indonesia: Titik Kritis Keanekaragaman Hayati Primata
Dikutip dari dlhi.co.id Empat spesies asal Indonesia yang masuk dalam daftar tersebut adalah Orangutan Tapanuli, Simakobu dari Mentawai, Lutung Sentarum, dan Tarsius Sangihe. Meski berasal dari wilayah yang berbeda-beda, keempatnya memiliki satu kesamaan: habitat mereka terus tergerus oleh ekspansi manusia.
Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) misalnya, saat ini hanya tersisa sekitar 767 individu di hutan Batang Toru, Sumatra Utara. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) serta aktivitas pertambangan menjadi ancaman langsung bagi kelangsungan hidupnya. Ironisnya, spesies ini baru diidentifikasi secara ilmiah pada 2017, namun kini justru menyandang predikat sebagai kera besar paling langka di dunia.
Di Kepulauan Mentawai, Simakobu (Simias concolor) mengalami penurunan populasi drastis akibat deforestasi. Ketergantungan spesies ini pada hutan primer membuatnya sangat rentan terhadap konversi lahan menjadi perkebunan dan kawasan pemukiman.
Sementara itu, Lutung Sentarum (Presbytis chrysomelas) yang mendiami hutan dataran rendah Kalimantan menjadi korban dari maraknya penebangan liar dan perluasan lahan pertanian. Kurangnya pengawasan terhadap kawasan hutan konservasi mempercepat laju degradasi habitat mereka.
Terakhir, Tarsius Sangihe (Tarsius sangirensis) di Sulawesi Utara menjadi spesies yang paling terancam punah akibat sempitnya wilayah jelajah dan tingginya tekanan konversi lahan. Primata mungil yang hanya ditemukan di Pulau Sangihe ini kini berada di ujung tanduk akibat perubahan bentang alam yang masif.
Krisis Global, Refleksi Masalah Lokal
Laporan yang disusun oleh lebih dari 100 ilmuwan internasional tersebut tidak hanya memetakan ancaman terhadap 25 spesies primata, tetapi juga menegaskan bahwa isu ini bersifat lintas batas dan multidimensi. Ancaman seperti deforestasi, perburuan liar, perdagangan satwa, hingga perubahan iklim merupakan tantangan bersama di berbagai belahan dunia—mulai dari Afrika hingga Asia Tenggara.
Namun di Indonesia, tantangan itu menjadi lebih kompleks karena berkelindan dengan kebijakan pembangunan yang belum sepenuhnya ramah lingkungan. Proyek-proyek infrastruktur berskala besar sering kali mengabaikan aspek ekologis, menyebabkan fragmentasi habitat dan isolasi populasi satwa liar.
Harapan dari Akar Rumput
Di tengah situasi genting ini, secercah harapan datang dari sejumlah inisiatif lokal yang menunjukkan bahwa upaya konservasi bisa berhasil jika melibatkan masyarakat sekitar. Di Mentawai, misalnya, program pelestarian berbasis komunitas berhasil menumbuhkan kembali kesadaran akan pentingnya keberadaan simakobu. Hal serupa juga terlihat di Sulawesi, di mana masyarakat dilibatkan sebagai penjaga habitat tarsius.
Pendekatan ini memperkuat pandangan bahwa konservasi tidak bisa bersifat top-down. Keberhasilan hanya akan tercapai bila ditopang oleh tiga elemen utama: partisipasi masyarakat, penegakan hukum yang konsisten, dan pendanaan jangka panjang.
Laporan Sebagai Seruan Aksi, Bukan Pengumuman Kematian
Menariknya, Primates in Peril tidak menyajikan data sebagai bentuk ratapan akan kepunahan, melainkan sebagai peta jalan menuju perubahan. Setiap nama dalam daftar itu seolah menjadi panggilan untuk bertindak, agar dunia tidak tinggal diam melihat satu per satu spesies menghilang dari peta kehidupan.
Sebagaimana ditekankan dalam laporan, waktu kita memang terbatas, namun masih ada ruang untuk menyelamatkan mereka. Kuncinya ada pada kemauan politik, dukungan masyarakat, serta komitmen untuk menjadikan konservasi sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan.
Kesimpulan: Menjaga Primata, Menjaga Masa Depan
Keberadaan primata di hutan-hutan tropis Indonesia bukan hanya soal pelestarian satwa, tapi juga soal menjaga keseimbangan ekosistem dan warisan alam bagi generasi mendatang. Jika primata punah, maka hutan sebagai paru-paru bumi ikut kehilangan denyutnya.
Maka, menyelamatkan primata bukan sekadar tugas para peneliti atau pegiat lingkungan, tapi juga tanggung jawab kolektif kita sebagai manusia. Karena pada akhirnya, nasib mereka adalah cermin dari masa depan kita sendiri.