Pelitadigital.com – Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Joko Widodo, baru-baru ini disebut sebagai “lambang negara” oleh organisasi bernama Pasukan Bawah Tanah Jokowi. Pernyataan ini muncul setelah klaim dari mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, yang menyatakan bahwa akun media sosial Fufufafa 99 persen adalah milik Gibran.

Tudingan tersebut memicu reaksi keras dari Pasukan Bawah Tanah Jokowi, yang merasa bahwa pernyataan Roy Suryo mencemarkan nama baik Gibran. Merespons hal ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pasukan Bawah Tanah Jokowi, Budianto, mengumumkan bahwa pihaknya telah melaporkan Roy Suryo ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik.

“Mas Gibran ini lambang negara, mau dilantik. Jadi, kita sebagai Pasukan Bawah Tanah Jokowi harus siap melindungi,” ungkap Budianto dikutip dari Metro Politan .

Pernyataan bahwa Gibran merupakan lambang negara segera menuai berbagai reaksi dari publik dan warganet. Banyak yang mempertanyakan maksud dan tujuan di balik penetapan gelar tersebut, serta dampak yang mungkin ditimbulkan dari pernyataan ini. Sejumlah pihak merasa bahwa menyebut Gibran sebagai lambang negara adalah tindakan yang berlebihan dan tidak relevan dengan realitas politik Indonesia.

Salah satu warganet menyampaikan pandangannya melalui media sosial. “Lambang negara kita sudah jelas Garuda Pancasila,” tegas pengguna akun @Iam****. Ungkapan serupa juga datang dari akun @gow**** yang menyindir penetapan tersebut dengan nada kritis, “Kaya gini bisa kena pidana ga sie mengganti lambang negara seenak udelnya. Ga ada gitu pasukan penutup gorong-gorong yang laporin pengganti lambang negara.”

Selain respons dari masyarakat umum, sejumlah pengamat politik menilai bahwa pernyataan tersebut lebih bersifat emosional dan politis. Beberapa pihak berpendapat bahwa langkah ini bisa jadi merupakan bentuk loyalitas ekstrem dari organisasi pendukung Jokowi, yang ingin memperlihatkan dukungan penuh kepada Gibran sebagai bagian dari keluarga Presiden.

Namun, bagi sebagian pihak lainnya, penetapan Gibran sebagai lambang negara memunculkan kekhawatiran akan penyalahgunaan simbol-simbol negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Terlebih lagi, lambang negara Indonesia yang sah, sesuai dengan konstitusi, adalah Garuda Pancasila.

Budianto menegaskan bahwa organisasi mereka akan terus berupaya melindungi nama baik Gibran dari segala bentuk tuduhan yang merugikan. “Kami melihat tuduhan tersebut sangat merugikan Mas Gibran, dan itu adalah tindakan yang tidak bisa kami biarkan begitu saja,” jelasnya lebih lanjut.

Kasus ini masih terus berkembang, dan publik menantikan bagaimana langkah hukum selanjutnya serta bagaimana peran Gibran dalam situasi politik di masa mendatang.

Share: